Akhir-akhir ini kita sering menemui iklan berbagai produk yang mengklaim
“bebas gula”, “tanpa gula” atau “rendah gula”. Memangnya, ada apa
dengan gula?
Selama revolusi pertanian muslim, pengusaha Arab mengadopsi teknik-teknik produksi gula dari India dan kemudian menyempurnakan dan mengubah gula menjadi industri skala besar. Orang-orang Arab mendirikan pabrik-pabrik dan perkebunan-perkebunan gula yang pertama dan mendistribusikannya sampai Eropa dan Afrika. Kata “sugar” dalam bahasa Inggris berasal dari kata Arab “sukkar”, yang berasal dari kata Sansekerta “sharkara”. Terjemahan gula dalam beberapa bahasa memiliki etimologi yang sama, misalnya, “azucar” dalam bahasa Spanyol, “sucre” di Perancis, “zucker” di Jerman, dan “seker” di Turki.
Kelebihan gula diubah menjadi lemak oleh tubuh. Menurut American Heart Foundation, “gula menyumbang nol nutrisi, tetapi menambahkan banyak kalori yang dapat menyebabkan berat badan ekstra, atau bahkan obesitas, sehingga mengurangi kesehatan jantung.” Gula juga dapat menyebabkan masalah gigi. Residu gula di gigi yang tidak disikat dengan benar mendorong perkembangbiakan bakteri alami yang menghasilkan asam, sehingga gigi mudah berlubang. Selanjutnya, menurut sebagian ahli, gula secara perlahan menimbulkan kerusakan pankreas, kelenjar adrenal dan mengacaukan keseluruhan sistem endokrin. Gula menyebabkan fluktuasi besar dalam glukosa darah.
Oleh karena itu, ahli gizi selalu merekomendasikan agar tidak mengsonsumsi gula berlebihan. Sayangnya, anjuran ini tampaknya tidak banyak diindahkan. Konsumsi gula per kapita Indonesia sekarang mencapai 12 kg per tahun, dengan tren terus meningkat. Per kapita berarti setiap pria, wanita, anak-anak dan bayi Indonesia rata-rata mengonsumsi 1 kg gula sebulan. Sebagian orang mengonsumsi jauh di atas rata-rata, sebagian lainnya di bawah rata-rata.
Banyak orang kecanduan gula sehingga mengonsumsi gula melebihi yang mereka butuhkan. Kebanyakan orang juga tidak meremehkan asupan gula. Padahal, setiap 1 gram gula mengandung 4 kalori. Setangkup gula 20 gram akan langsung menambah 80 kalori ke tubuh Anda. Bahkan, tanpa kita sadari bayi-bayi kita juga sudah diajari untuk mencandu gula. Menurut sebuah penelitian oleh Universitas Calgary, lebih dari setengah dari semua produk makanan yang ditargetkan untuk balita dan bayi di Kanada memiliki terlalu banyak kalori yang berasal dari gula. Belum ada penelitian sejenis di Indonesia, namun kemungkinan hasilnya tidak banyak berbeda.
Jenis-jenis gula
Ada banyak jenis gula, meskipun semuanya memiliki rasa manis. Jenis utamanya adalah fruktosa, laktosa, sukrosa, dan glukosa. Buah dan madu mengandung fruktosa, sedangkan susu memiliki laktosa. Glukosa adalah gula pati, yang juga dikenal sebagai gula darah. Gula pasir, gula meja atau gula putih (selanjutnya kita sebut gula) yang biasa kita tambahkan dalam makanan dan minuman adalah sukrosa murni, yang merupakan gabungan dua gula lain yang lebih sederhana: fruktosa dan glukosa. Bila Anda mencampurkan gula ke dalam minuman yang asam, misalnya jus lemon, maka sukrosa akan terurai menjadi dua komponen ini.Sejarah gula
Gula merupakan makanan yang baru populer di abad pertengahan. Gula praktis tidak dikenal dalam peradaban klasik Mesir, Yunani dan Romawi. Orang Yunani (yang memiliki kata hampir untuk semua hal) bahkan tidak memiliki kata untuk gula. Orang Arab-lah yang menjadikan gula sebagai komoditi populer di dunia, yang kini menjadi kebutuhan pokok semua bangsa dengan produksi global melebihi 120 juta ton per tahun.Selama revolusi pertanian muslim, pengusaha Arab mengadopsi teknik-teknik produksi gula dari India dan kemudian menyempurnakan dan mengubah gula menjadi industri skala besar. Orang-orang Arab mendirikan pabrik-pabrik dan perkebunan-perkebunan gula yang pertama dan mendistribusikannya sampai Eropa dan Afrika. Kata “sugar” dalam bahasa Inggris berasal dari kata Arab “sukkar”, yang berasal dari kata Sansekerta “sharkara”. Terjemahan gula dalam beberapa bahasa memiliki etimologi yang sama, misalnya, “azucar” dalam bahasa Spanyol, “sucre” di Perancis, “zucker” di Jerman, dan “seker” di Turki.
Bahan kimia yang tidak alami
Sedemikian dahsyatnya gula merasuki kehidupan kita, sebagian besar kita tidak menyadari bahwa gula adalah bahan kimia yang tidak alami. Tidak ada kristal seperti gula di alam. Gula adalah hasil pemurnian (refinasi) sari tebu atau bit setelah semua vitamin, mineral, protein, enzim dan nutrisi bermanfaat lainnya dibuang. Akibatnya, gula tidak mengandung aneka nutrisi dan serat yang terdapat pada karbohidrat lain yang lebih kompleks seperti biji-bijian, buah-buahan, dan sayuran.Kelebihan gula diubah menjadi lemak oleh tubuh. Menurut American Heart Foundation, “gula menyumbang nol nutrisi, tetapi menambahkan banyak kalori yang dapat menyebabkan berat badan ekstra, atau bahkan obesitas, sehingga mengurangi kesehatan jantung.” Gula juga dapat menyebabkan masalah gigi. Residu gula di gigi yang tidak disikat dengan benar mendorong perkembangbiakan bakteri alami yang menghasilkan asam, sehingga gigi mudah berlubang. Selanjutnya, menurut sebagian ahli, gula secara perlahan menimbulkan kerusakan pankreas, kelenjar adrenal dan mengacaukan keseluruhan sistem endokrin. Gula menyebabkan fluktuasi besar dalam glukosa darah.
Oleh karena itu, ahli gizi selalu merekomendasikan agar tidak mengsonsumsi gula berlebihan. Sayangnya, anjuran ini tampaknya tidak banyak diindahkan. Konsumsi gula per kapita Indonesia sekarang mencapai 12 kg per tahun, dengan tren terus meningkat. Per kapita berarti setiap pria, wanita, anak-anak dan bayi Indonesia rata-rata mengonsumsi 1 kg gula sebulan. Sebagian orang mengonsumsi jauh di atas rata-rata, sebagian lainnya di bawah rata-rata.
Banyak orang kecanduan gula sehingga mengonsumsi gula melebihi yang mereka butuhkan. Kebanyakan orang juga tidak meremehkan asupan gula. Padahal, setiap 1 gram gula mengandung 4 kalori. Setangkup gula 20 gram akan langsung menambah 80 kalori ke tubuh Anda. Bahkan, tanpa kita sadari bayi-bayi kita juga sudah diajari untuk mencandu gula. Menurut sebuah penelitian oleh Universitas Calgary, lebih dari setengah dari semua produk makanan yang ditargetkan untuk balita dan bayi di Kanada memiliki terlalu banyak kalori yang berasal dari gula. Belum ada penelitian sejenis di Indonesia, namun kemungkinan hasilnya tidak banyak berbeda.